Contoh Eksposisi
Mengayuh
Sepeda Ontel, Demi Sekolah Anak
Penulis :
Robertus Belarminus | Sabtu, 6 Oktober 2012 | 16:29 WIB
|
KOMPAS.com/Robertus Belarminus
Husman (52), pengojek sepedah ontel di jalan Yos Sudarso, Koja, Jakarta Utara.
Jumat (5/10/2012).
JAKARTA,
KOMPAS.com - Jasa ojek
sudah lazim dikenal masyarakat. Mengantar penumpang dengan sepeda motor
bermesin tentu tidak menguras dan membutuhkan banyak tenaga. Tetapi hal ini
menjadi berbeda bila ojek yang digunakan adalah sepeda tanpa motor, seperti
yang dijalani Husman (52).
Pria yang
berprofesi sebagai pengojek "sepeda ontel" di jalan Yos Sudarso,
Koja, Jakarta Utara itu, tentu merasakan beratnya mengayuh pedal sepeda ketika
mengais rejeki. Ditemui Kompas.com, tatkala tengah menanti penumpang,
Husman mengaku menjalani profesi tersebut sejak lama.
"Sudah
sepuluh tahun saya narik, dulu masih sih rame-ramenya (penumpang),"
kata Husman, Jumat (5/10/2012) sore. Demi rupiah, rasa lelah dan pegal tak jadi
beban bagi pria asal Tegal, Jawa Tengah itu. Uang yang didapat tak lain untuk menafkahi
keluarga, terutama bagi tiga anaknya, yang dua di antaranya sudah duduk di
bangku SMK dan SD, sedangkan yang bungsu belum bersekolah.
Ditemani
topi pudar penutup kepalanya, Husman bercerita bahwa terkadang ia harus mencari
usaha sambilan untuk menambah penghasilannya ketika sepi penumpang. Maklum saat
ini penghasilannya terbilang tak banyak, bahkan tidak lagi mencukupi untuk
menghidupi keluarga.
"Sekarang
saingannya banyak, udah banyak ojek motor (bermesin), sama angkot. Orang-orang
juga sekarang sudah punya motor sendiri. Ya, kalo jaman dulu sih ojek sepeda
ontel nggak ada saingan." ujar Husman mengenang.
Pedal sepeda
yang dikayuh tidaklah ringan. Walaupun sudah biasa, rasa pegal masih
dirasakannya. Kadang perjalanan panjang harus ditempuh bila ada penumpang
dengan tujuan jauh. "Ya tergantung sewa, ada yang deket, ada yang jauh.
Kadang ada yang ke Terminal Priok, ke Rawa Badak, atau ke Warakas. Kalau
sewanya jauh ya bisa sampai 20 kiloan. Lumayan capek, namanya juga pake
tenaga," ujarnya tersenyum.
Tak jarang
dalam satu hari Husman tidak mendapatkan penumpang. Trasportasi modern membuat
sepeda ontel yang ramah lingkungan itu perlahan mulai ditinggalkan. Namun,
Husman masih setia menarik sepeda milik bosnya itu.
Bertahun-tahun
menggowes sepeda, Husman akrab dengan padatnya lalu lintas ibukota.
"Pernah lagi macet, kendaraan yang di depan berhentinya mendadak. Saya
nabrak belakang motor. Enggak diomelin sih, cuma diplototin aja
gitu," ceritanya disambut tawa.
Meski
penghasilannya sehari rata-rata hanya 10 ribu sampai 20 ribu, Husman tetap
mempunyai harapan. Ia berdoa agar rejeki yang diperoleh dapat dipakai
menyekolahkan anak-anaknya sehingga mereka memiliki masa depan lebih baik.
"Pengennya anak biar jadi orang, jangan kayak
bapaknya," ujarnya sambil mengelus sepeda tuanya.
Editor :
A.
Wisnubrata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar